Laman

Selasa, 22 Mei 2012

Ketetanggaan Pada Masyarakat Lubu’ Hiju’


Oleh Aprimeno Sabdey[1],2001


Pendahuluan



Studi ketetanggaan selama ini lebih banyak mengarah pada masyarakat kompleks. Konsep-konsep ketetanggaan yang ada sangat kental dengan kondisi masyarakat yang kompleks. Hubungan satu manusia dengan yang lainnya dipandang sebagai suatu hubungan atas kepentingan ekonomi. Dalam hal ini tetangga tidak selamanya dapat dianggap sebagai teman, tetapi juga adalah saingan.

Ketetanggaan dalam masyarakat kompleks lebih bertujuan untuk memuaskan rasa (kenyamanan) setiap orang. Disamping itu keputusan untuk bertetangga atau hidup bersama dalam suatu kelompok juga sangat ditentukan  oleh adanya kebutuhan yang sama. Artinya ketika kebutuhan dan kenyamanan itu dirasa sudah tidak terpenuhi lagi, bisa saja salah satu anggota kelompok itu pergi meninggalkan kelompoknya.

Untuk mengamati ketetanggaan pada masyarakat kompleks menjadi lebih ‘mudah’. Tidak demikian dengan pengamatan pada masyarakat yang homogen atau asali. Hal ini bukan berarti aspek ketetanggaan tidak bisa dilihat /diamati pada masyarakat homogen, tetapi semata-mata karena kurangnya bahkan hampir tidak ada antropolog yang melihat ini[2] secara lebih mendalam dan mengangkatnya  menjadi konsep yang universal[3]. Yang dilakukan oleh antropolog dalam melihat aspek ketetanggaan seringkali dikaitkan dengan aspek lain misalnya ketika melihat kekerabatan, struktur masyarakat, dan aspek yang lainnya.

Hulu Sungai Mentobi

Secara administrative, desa Lubu’ Hiju’  masuk dalam wilayah kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Desa  Lubu’ Hiju’ terletak di tepi sungai Mentobi yang merupakan anak sungai Buli’. Sungai Buli’ ini bermuara ke  sungai Lamandau yang merupakan sungai induk dan langsung bermuara ke laut. 

Saat ini desa Lubu’ Hiju’ merupakan desa paling akhir (paling hulu) yang terdapat pada sungai Mentobi[4].  Namun demikian hal tersebut tidak melepaskan Lubu’ Hiju’ dari ‘serangan’ para penggerogot kayu. Perusahaan-perusahaan kayu yang beroperasi di sana sedikit banyaknya telah mengganggu keasalian masyarakat dan menumbuhkan bibit perpecahan dikalangan masyarakat[5].

Desa Lubu’ Hiju’ saat ini bisa dicapai dengan dua cara, yaitu melalui jalan darat dan jalan sungai. Perjalanan lewat sungai akan menghabiskan waktu 2 sampai 3 hari dari ibukota kabupaten Kotawaringin Barat, Pangkalan Bun. Sedangkan kalau kita menggunakan transportasi darat akan memakan waktu sekitar 4 – 5 jam[6].

Memasuki Desa Lubu’ Hiju’ kita masih bisa menikmati suasana khas Dayak Hulu Sungai Mentobi[7]. Sisa-sisa keramahan masyarakat[8] dayak dan lingkungan permukiman terasa masih asli walaupun ada beberapa rumah yang sudah nampak  dibangun dengan model yang lebih modern.

Disini masih terdapat rumah-rumah penduduk yang masih asli. Bahkan ada rumah-rumah yang sudah berumur puluhan tahun dan bahkan ratusan. Rumah-rumah tersebut dindingnya terbuat dari kulit kayu, sedangkan tiang-tiang rumahnya dari kayu ulin yang masih bulat dan atapnya dari kayu ulin yang sudah dibuat seperti papan dalam ukurun mini (lebar =20 cm dan panjang= 70 –80 cm). Tinggi  tiang rumah sampai ke lantai  sekitar 2 meter. Namun demikian kita juga akan menjumpai rumah-rumah yang dibangun dengan gaya-gaya modern tapi bentuknya dibuat mirip dengan yang asli. Disamping itu kita juga akan bertemu dengan rumah-rumah kecil yang disebut tukau atau jurung yang masih asli. Tukau ini berfungsi untuk menyimpan padi hasil panen untuk  makanan selama satu tahun. Tukau ini adalah salah satu bentuk menabung yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Hulu Sungai Mentobi. Isi tukau tersebut adalah 100 kambut atau dalam ukuran kilogram sama dengan 2000 kg. Dan setiap keluarga biasanya memiliki minimal satu tukau. (Sabdey, 2000,hal.25-26)

Orang Dayak hulu sungai Mentobi khususnya dan suku dayak yang mendiami DAS Lamandau pada umumnya, tidak mengenal adanya rumah Betang[9] seperti yang ada pada masyarakat Dayak Ngaju’ atau pada mayoritas suku dayak yang mendiami bumi Kalimantan.

Pola rumah yang dianut oleh suku dayak  ini adalah rumah-rumah keluarga atau individu. Dan polanya sama dengan yang selama ini kita gunakan. Tapi yang tetap menjadi ciri khas suku Dayak Hulu Sungai Mentobi adalah Rumah Panggung. Ciri rumah ini adalah tinggi. Dan ini juga yang mengilhami masyarakat dayak Mentobi dan sekitarnya dalam membangun rumah tinggal yang digunakan pada masa sekarang[10].

Disamping rumah-rumah keluarga, suku Dayak  Hulu Sungai Mentobi ini mengenal juga apa yang disebut Rumah Laman. Rumah Laman adalah rumah yang dibuat lebih besar dari rumah-rumah pada umumnya. Fungsinya adalah untuk tempat berkumpul orang satu laman ketika mengadakan pesta-pesta adat ataupun tempat masyarakat satu laman berkumpul ketika maenghadapi musuh dari luar seperti para Kayau[11]. (Sabdey,2000,hal.39-40)

Gambaran Ketetanggaan di Lubu’ Hiju’

Bagi masyarakat Lubu’ Hiju’ semua tetangga adalah kerabat/keluarga. Hidup gotong royong dan berbagi satu sama lain merupakan ciri utama dari masyarakat ini. Hal ini bisa kita lihat ketika mereka membangun rumah, bajolu[12], bahuma (berladang), atau pun ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan adat seperti pernikahan, kematian, ayah/namayah[13], menyaki[14] laman dan atau hutan dan sebagainya. Namun pada tingkatan tertentu masyarakat Lubu’ Hiju’ ini sangat menjaga harga dirinya yang pada hakekatnya juga menggambarkan persaingan[15]. Orang Lubu’ Hiju’ ini tidak mau dianggap tidak kuat, hanya karena tidak bisa mendapatkan hasil buruan yang banyak. Disinilah uniknya, seberapapun hasil buruan yang didapat seluruh kampung akan ikut menikmatinya juga. Bagi saya ini merupakan nilai positif yang harus tetap dilestarikan apalagi ketika menghadapi perubahan zaman yang seringkali mengorbankan masyarakat adat seperti yang ada di Lubu’ Hiju’ ini[16]. Artinya apa pun yang terjadi di luar sana, tidak boleh merusak nilai-nilai positif yang ada di sini seperti aspek berbagi ini.

Masyarakat Dayak Hulu Sungai Mentobi pada umumnya memiliki rasa sungkan yang relatif tinggi. Perasaan sungkan seperti ini mendorong mereka untuk lebih tertutup[17] terhadap orang lain. Aturan-aturan adat yang ada cukup mengikat mereka satu sama lain dalam melakukan interaksi sosial. Bagaimana harus berbicara terhadap orang yang lebih tua statusnya dalam kekerabatan,  terhadap mertua, terhadap sebaya,  terhadap anak kecil, semuanya tanpa disadari telah memaksa mereka menjadi sungkan[18]. Sebagai contoh, mereka tabu menyebut nama mertua sendiri atau nama orang tua, kalau mereka melakukan itu akan kena tulah.

Paradoks dengan hal itu, saling kunjung-mengunjungi merupakan pemandangan yang tidak asing bagi masyarakat ini. Sekedar mengobrol sambil minum tuak dan makan sirih-pinang merupakan hal yang biasa. Pada saat-saat mereka tidak melakukan aktivitas ke hutan atau ke huma (ladang), saat-saat inilah yang dipergunakan untuk melakukan kontak sosial diantara mereka. Atau pada musim bahuma (berladang) kunjung mengunjungi ini tetap dilakukan tidak hanya ke rumah yang ada di laman saja, tetapi sampai ke huma[19].  Biasanya ini dilakukan kalau ada keperluan tertentu misalnya ingin meminta bahan-bahan untuk kebutuhan makan sehari-hari atau pun pada saat sedang berburu ke hutan dan mampir sekedar untuk beristirahat.

Ketika ada keluarga yang sedang melakukan hajatan, misalnya pesta kawin,  membuka huma baru sampai mahanyi (menuai padi) bahkan pada saat kematian, kerja sama dalam masyarakat ini akan terlihat dengan jelas. Biasanya, keluarga yang mengadakan hajatan bertandang ke rumah-rumah untuk memberitahukan rencana mengadakan pesta tersebut sekaligus mengundang semua penduduk untuk datang. Tanpa harus meminta bantuan tenaga untuk mempersiapkan pesta, dengan sendirinya masyarakat yang diberitahu dan diundang hadir tersebut akan berdatangan untuk membantu. Semua akan membantu sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Ada yang membantu bagian dapur, ada yang membantu mencari keperluan ke hutan, ada yang mempersiapkan dekorasi ruangan dan sebagainya. Dan sudah menjadi kebiasaan, tuan rumah wajib menyiapkan makanan selama bekerja bagi orang-orang yang membantu.

Hal lain yang bisa kita lihat adalah kebiasaan bajolu dan mencari hasil hutan non kayu.  Pada saat ingin melakukan bajolu, baik berburu binatang di hutan maupun mencari ikan di sungai, hampir tidak pernah dilakukan sendiri-sendiri, minimal 2 orang. Kegiatan ini biasanya diketahui oleh semua orang.  Dan mereka yang ingin ikut bisa ‘mendaftarkan’ diri dalam rombongan berburu.  Hasil yang didapat akan dibagi ke seluruh laman. Demikian juga pada saat mencari ikan.

Mencari ikan agak berbeda sedikit caranya dari berburu. Kalau mencari ikan biasanya melibatkan semua penduduk dan dimulai dengan bahaum (bermusyawarah)[20].  Sebelum melaksanakan acara mencari ikan, desa-desa yang ada di bagian hilir akan diberitahu supaya jangan mandi di sungai pada saat itu mengingat bahan yang digunakan adalah tuba (sejenis pohon yang getahnya mengandung racun). Sebelum melaksanakan acara mencari ikan ini, selalu ada upacara khusus[21].  Dan juga ada pantangan yang harus diindahkan oleh masyarakat setempat.

Uraian di atas merupakan sedikit contoh yang ingin menunjukan bagaimana masyarakat Lubu’ Hiju’ hidup bertetangga. Namun demikian pada kenyataannya, komuniti ini tidak solit. Masyarakat begitu cepat untuk diprovokasi dan dipecah belah. Saya melihat hal ini ada kaitannya dengan pola rumah individu/keluarga.  Secara alamiah masyarakat sudah terbiasa bekeja sendiri, mereka tidak terbiasa untuk hidup bersama seperti tradisi rumah betang.  Bahkan keinginan untuk bersaing itu mungkin hadir dari sini. Setiap individu secara tidak langsung sudah diajarkan untuk melihat bahwa orang lain yang ada diluar dirinya itu bukan bagian dari dirinya atau bukan bagian dari rumahnya.

Masalah tidak begitu tampak selama masyarakat ini belum terpengaruh oleh sesuatu yang datang dari luar komuniti mereka. Tetapi bibit-bibitnya sudah ada secara alamiah, yang menunggu disiram dan tumbuh. Disinilah keterlibatan kita sebagai orang luar, untuk tidak memanfaatkan kondisi ini sebagai lahan yang penuh dengan keuntungan pribadi. Sebaliknya kita wajib mananamkan kembali nilai-nilai positif yang ada dalam rangka menghadapi perubahan di luar yang tidak mungkin bisa dihindari[22].

Penutup

Dari sedikit gambaran ketetanggaan di atas dapat kita lihat bahwa masyarakat desa Lubu’ Hiju’  memiliki pola sendiri dalam melakukan hubungannya dengan orang lain. Hal  ini mungkin tidak sama dengan masyarakat lain di tempat yang lain, lebih-lebih kalau kita bandingkan dengan masyarakat kota dan perkotaan. Walaupun dalam beberapa hal kita temui persamaan, tetap ada perbedaan yang merupakan kekhasan masyarakat tersebut. Yang paling penting adalah prinsipnya, bukan pada apa yang tampak. Sebagai contoh dalam hal ini kalau kita lihat aspek teritorialiti. Aspek ini sangat berbeda kalau kita merujuk pada fenomena masyarakat kota. Teritorialiti masyarakat Lubu’ Hiju’ merupakan bagian dari upaya mereka bersatu dengan alam sebagai satu bio region.

Keputusan untuk bertetangga dalam hal ini tidak bisa kita katakan sebagai upaya memuaskan rasa dari masing-masing individu/keluarga. Sehingga tidak akan kita temui ada anggota masyarakat yang memutuskan untuk keluar dari komunitinya karena kebutuhan tidak terpenuhi. Disini kepentingan ekonomi (upaya menguntungkan diri sendiri) diabaikan. Inilah catatan yang cukup penting dari tulisan ini. Artinya, aspek yang paling menonjol dalam bertetangga adalah kebersamaan. Kalaupun ada bibit-bibit perpecahan di dalamnya bisa dieliminir dengan mengedepankan nilai kebersamaan ini.

Daftar Bacaan
Hadiwijono, Harun, Dr., “Religi Suku Murba di Indonesia”, PT.BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000

Kartika, Sandra dan Gautama, Candra, “Prosiding; Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara”, AMAN, Jakarta, 1999

Masinambow, E.K.M. (ed.), “Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia”, Asosiasi Antropologi Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997

Riwut, Tjilik,  “Kalimantan Membangun”, PT.Jayakarta Agung Offset, Jakarta, 1979

Sabdey, Aprimeno, ST., “Studi Pengelolaan Lahan Secara Tradisional di Desa Lubu’ Hiju’ Kalimantan Tengah”, Skripsi-Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITI, Serpong, 2000


[1]   Penulis adalah peneliti pada Laboratorium Pengembangan Komunitas (LAPAK) Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota  ITI  dan sedang mengikuti program pascasarjana Antropologi UI.
[2] Dr.Boedhi Hartono seringkali mengemukakan hal ini dalam kelas Perilaku Pemukiman pada program pascasarjana Antropologi UI.
[3]   Jadi kesulitan semata-mata bukan karena bentuk masyarakatnya yang homogen atau asali, tetapi lebih pada hal-hal yang bersifat teknis (‘kemudahan kepustakaan’)
[4]   Sampai pada tahun 70-an desa yang paling hulu adalah desa Topalan yang dipindahkan ke bagian hilir sungai oleh pemerintah daerah dengan alasan sulit untuk dijangkau.
[5]   Banyak nilai-nilai budaya yang menjadi bias maknanya ketika mereka dimasuki cara berpikir yang uang oriented dan jelas-jelas difasilitasi oleh perusahaan HPH Trisetia Intiga yang ada di sana. Sebagai informasi awal, dapat kita periksa pada skripsi sarjana Aprimeno Sabdey dengan judul “Studi Pengelolaan Lahan Secara Tradisional di Desa Lubu’ Hiju’ Kalimantan Tengah” (Sabdey, 2000)
[6]   Terbukanya aksesibilitas  ke Lubu’ Hiju’ memberikan keuntungan dan kerugiannya sendiri bagi kelangsungan masyarakat dan ekosistem hutan yang ada di sana. Yang jelas, sepanjang jalan menuju ke desa ini, sejauh mata memandang kita hanya menemui hamparan bebukitan yang sudah gundul dan siap disulap menjadi padang Kelapa Sawit dan Akasia (dan sejenisnya untuk bahan baku kertas).
[7]   Sebutan Dayak Hulu Sungai Mentobi merupakan penamaan yang penulis berikan bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai Mentobi. Hal ini merupakan kesimpulan penulis mengingat kebiasaan yang ada pada masyarakat dayak yang mendiami daerah aliran sungai (DAS) Lamandau ketika menunjuk saudara-saudara mereka yang datang dari sub DAS Lamandau lainnya (seperti DAS Mentobi, Das Belantikan, DAS Buli’, dan lainnya) dengan sebutan urang hulu (sungai/arai)  X (X dimaksud menyebut nama sungai dari mana orang itu berasal). Sedangkan Tjilik Riwut dalam “Kalimantan Membangun” menyebut atau menggolongkan orang dayak di DAS Lamandau ini dalam kelompok Dayak Ngaju’; dan saya sendiri kurang setuju dengan pengelompokan ini mengingat bahasa dan karakter masing-masing masyarakat sangat berbeda.
[8]   Keramahan ini pada tingkat tertentu sudah mulai luntur. Rasa curiga terhadap ‘orang baru’ sudah mulai mewarnai masyarakat Lubu’ Hiju’. Tetapi selanjutnya rasa curiga itu akan hilang dengan sendirinya setelah ‘orang baru’ tersebut menunjukkan itikad baik dan bisa bersahabat dengan mereka. Kondisi ini bukan nature masyarakat. Saya mensinyalir perubahan ini mulai ada sejak uang menggantikan segala kebutuhan masyarakat.
[9]   Sejauh ini saya tidak menemukan adanya indikasi bahwa masyarakat dayak yang berdiam di DAS Lamandau awalnya memiliki tradisi rumah betang.  
[10] Konsep rumah  panggung ini dilatar belakangi masa perang antar suku; jadi fungsinya untuk menghindari serangan musuh atau atau agar musuh tidak dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah tersebut.
[11]  Kayau adalah sebutan orang yang menjalankan tradisi mencari kepala manusia.
[12] Bajolu merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut kegiatan berburu dan mencari ikan; penggunaan istilah ini diartikan sesuai dengan konteksnya
[13] Orang Dayak yang tinggal di daerah aliran sungai Lamandau percaya bahwa  manusia itu setelah mati akan pergi ke Sabayan Tujuh [sabayan adalah tempat samongat (arwah/roh) orang yang sudah mati . Sabayan ini ada dua jenis, yaitu sabayan tujuh dan sabayan sunsang. Sabayan Tujuh adalah surga yang letaknya di atas sedangkan sabayan sunsang adalah neraka yang letaknya di bawah] dan sebelum mereka pergi ke sana samongat mereka terlebih dahulu maawang (bergentayangan atau mengawang-awang) di dunia manusia ini. Samongat ini tidak bisa pindah dengan sendirinya, dia harus diantar dengan suatu upacara yang di sebut ayah atau namayah atau tewah oleh seorang imam yang khusus (biasanya yang menjadi imam adalah Mantir Adat –istilah sekarang adalah kepala adat- setempat) selama waktu tertentu dan tidak boleh salah ketika membacakan doa-doa yang dipercaya sebagai penuntun samongat ke tempat tujuan. Acara ini secara garis besar sama dengan yang terdapat pada suku dayak Ngaju’. Untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan acara tersebut periksa tulisan Dr.Harun Hadiwijono mengenai “Religi Suku Murba di Indonesia”.
[14] Manyaki sering disebut juga mangabia dapat diartikan dengan memberi makan, tetapi istilah ini tidak dikenakan kepada manusia. Misalnya manyaki laman (desa) berarti memberi makan laman; maksudnya supaya para makhluk penunggu/penjaga laman tetap mau melindungi laman mereka.
[15] Tetapi persaingan yang dimaksudkan disini  tidak bertendensi ekonomi atau kekuasaan politik. Persaingan ini semata-mata ingin menunjukan bahwa seseorang dianggap cakap dalam melakukan sesuatu. Contohnya adalah ketika seseorang berburu, Si A akan merasa malu kalau perolehan berburunya tidak bisa menyaingi rekor berburu Si B pada waktu yang lalu.
[16]  Kalau kita membaca berita-berita di koran atau pun kita buka kembali Prosiding Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara di Hotel Indonesia 15-16 maret 1999 yang lalu, kita menemukan bahwa korban/kerugian yang akan ditanggung tidak hanya pada  pembodohan, keterbelakangan dan sebagainya, tapi juga korban nyawa.
[17] Hal ini sangat berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Mering Ngo ketika menggambarkan temperamen orang dayak yang tinggal di sekitar Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya; dalam catatan kaki dia mencoba menggeneralisasi keadaan ini melingkupi orang dayak secara umum. Periksa Mering Ngo dalam “Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia” hal 109.
[18] Pengertian memaksa disini tidak berarti mereka tidak menikmati aturan adat tersebut. Semua itu mereka lakukan dengan rela.
[19] Setiap musim bahuma penduduk biasanya tinggal di huma itu sesuai kebutuhannya.
[20]  Bahaum disini dimaksudkan untuk membentuk semacam panitia, siapa yang mencari dan menyiapkan tuba, siapa yang bagian mengumpulkan ikan dan sebagainya termasuk siapa yangmenjadi kepala tuba-nya (semacam ketua panitia)
[21] Upacara ini maksudnya supaya tuba yang digunakan bisa dikendalikan masa berlakunya, ikan tidak terkontaminasi dan tidak mati, tapi hanya mabuk saja. Dan juga ada pantangan yang harus diindahkan oleh masyarakat setempat. Wanita hamil tidak diperbolehkan ikut atau mandi. Karena dipercaya akan menghilangkan khasiat tuba. Dalam hal ini pernah dibuktikan, ketika masyarakat sedang mencari ikan ada wanita hamil yang mandi, seketika ikan-ikan yang sedang mabuk itu kembali segar dan berenang kembali.
[22] Dalam hal ini saya tidak menganjurkan supaya masyarakat kembali pada tradisi lamanya, tetapi menyerap nilai-nilai positif yang ada pada konteks yang relevan. Misalnya untuk bekerjasama dan berbagi tidak harus dimulai dengan ritus-ritus tertentu, yang pelaksanaannya mungkin sudah dilupakan dan dalam sudut pandang tertentu tidak manusiawi (mis. tradisi mengayau).

3 komentar:

  1. makasih sudah mempublikasikan tulisan saya ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama hia. Kebetulan aku dapat tulisan duan dr om Renolt. Karena bermanfaat untuk urang banyak aku posting disini. Maaf bolum baijin dengan duan holu.

      Hapus
  2. Mau tanya dong. Terkait buku yg membahas ttg asosiasi ketetanggaan apakah penulis tau?mohon infonya

    BalasHapus

Komentar anda