Oleh Aprimeno Sabdey[1],2001
Pendahuluan
Studi ketetanggaan selama ini lebih banyak
mengarah pada masyarakat kompleks. Konsep-konsep ketetanggaan yang ada sangat
kental dengan kondisi masyarakat yang kompleks. Hubungan satu manusia dengan
yang lainnya dipandang sebagai suatu hubungan atas kepentingan ekonomi. Dalam
hal ini tetangga tidak selamanya dapat dianggap sebagai teman, tetapi juga
adalah saingan.
Ketetanggaan dalam masyarakat kompleks
lebih bertujuan untuk memuaskan rasa (kenyamanan) setiap orang.
Disamping itu keputusan untuk bertetangga atau hidup bersama dalam suatu
kelompok juga sangat ditentukan oleh
adanya kebutuhan yang sama. Artinya ketika kebutuhan dan kenyamanan itu dirasa
sudah tidak terpenuhi lagi, bisa saja salah satu anggota kelompok itu pergi
meninggalkan kelompoknya.
Untuk mengamati ketetanggaan pada
masyarakat kompleks menjadi lebih ‘mudah’. Tidak demikian dengan pengamatan
pada masyarakat yang homogen atau asali. Hal ini bukan berarti aspek
ketetanggaan tidak bisa dilihat /diamati pada masyarakat homogen, tetapi semata-mata
karena kurangnya bahkan hampir tidak ada antropolog yang melihat ini[2]
secara lebih mendalam dan mengangkatnya
menjadi konsep yang universal[3].
Yang dilakukan oleh antropolog dalam melihat aspek ketetanggaan seringkali
dikaitkan dengan aspek lain misalnya ketika melihat kekerabatan, struktur
masyarakat, dan aspek yang lainnya.
Hulu
Sungai Mentobi
Secara administrative, desa Lubu’
Hiju’ masuk dalam wilayah kabupaten
Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Desa
Lubu’ Hiju’ terletak di tepi sungai Mentobi yang merupakan anak sungai
Buli’. Sungai Buli’ ini bermuara ke
sungai Lamandau yang merupakan sungai induk dan langsung bermuara ke
laut.
Saat ini desa Lubu’ Hiju’ merupakan desa
paling akhir (paling hulu) yang terdapat pada sungai Mentobi[4]. Namun demikian hal tersebut tidak melepaskan
Lubu’ Hiju’ dari ‘serangan’ para penggerogot kayu. Perusahaan-perusahaan kayu
yang beroperasi di sana sedikit banyaknya telah mengganggu keasalian masyarakat
dan menumbuhkan bibit perpecahan dikalangan masyarakat[5].
Desa Lubu’ Hiju’ saat ini bisa dicapai
dengan dua cara, yaitu melalui jalan darat dan jalan sungai. Perjalanan lewat
sungai akan menghabiskan waktu 2 sampai 3 hari dari ibukota kabupaten
Kotawaringin Barat, Pangkalan Bun. Sedangkan kalau kita menggunakan
transportasi darat akan memakan waktu sekitar 4 – 5 jam[6].
Memasuki Desa Lubu’ Hiju’ kita masih bisa
menikmati suasana khas Dayak Hulu Sungai Mentobi[7].
Sisa-sisa keramahan masyarakat[8]
dayak dan lingkungan permukiman terasa masih asli walaupun ada beberapa rumah
yang sudah nampak dibangun dengan model
yang lebih modern.
Disini masih terdapat rumah-rumah penduduk yang masih asli.
Bahkan ada rumah-rumah yang sudah berumur puluhan tahun dan bahkan ratusan.
Rumah-rumah tersebut dindingnya terbuat dari kulit kayu, sedangkan tiang-tiang
rumahnya dari kayu ulin yang masih bulat dan atapnya dari kayu ulin yang sudah
dibuat seperti papan dalam ukurun mini (lebar =20 cm dan panjang= 70 –80 cm).
Tinggi tiang rumah sampai ke lantai sekitar 2 meter. Namun demikian kita juga
akan menjumpai rumah-rumah yang dibangun dengan gaya-gaya modern tapi bentuknya
dibuat mirip dengan yang asli. Disamping itu kita juga akan bertemu dengan
rumah-rumah kecil yang disebut tukau atau jurung yang masih asli.
Tukau ini berfungsi untuk menyimpan padi hasil panen untuk makanan selama satu tahun. Tukau ini adalah
salah satu bentuk menabung yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Hulu Sungai
Mentobi. Isi tukau tersebut adalah 100 kambut atau dalam ukuran kilogram
sama dengan 2000 kg. Dan setiap keluarga biasanya memiliki minimal satu tukau.
(Sabdey, 2000,hal.25-26)
Orang Dayak hulu sungai Mentobi khususnya
dan suku dayak yang mendiami DAS Lamandau pada umumnya, tidak mengenal adanya
rumah Betang[9]
seperti yang ada pada masyarakat Dayak Ngaju’ atau pada mayoritas suku dayak
yang mendiami bumi Kalimantan.
Pola rumah yang dianut oleh suku dayak ini adalah rumah-rumah keluarga atau individu.
Dan polanya sama dengan yang selama ini kita gunakan. Tapi yang tetap menjadi
ciri khas suku Dayak Hulu Sungai Mentobi adalah Rumah Panggung. Ciri
rumah ini adalah tinggi. Dan ini juga yang mengilhami masyarakat dayak Mentobi
dan sekitarnya dalam membangun rumah tinggal yang digunakan pada masa sekarang[10].
Disamping rumah-rumah keluarga, suku Dayak Hulu Sungai Mentobi ini mengenal juga apa
yang disebut Rumah Laman. Rumah Laman adalah rumah yang dibuat lebih
besar dari rumah-rumah pada umumnya. Fungsinya adalah untuk tempat berkumpul
orang satu laman ketika mengadakan pesta-pesta adat ataupun tempat
masyarakat satu laman berkumpul ketika maenghadapi musuh dari luar seperti para
Kayau[11].
(Sabdey,2000,hal.39-40)
Gambaran
Ketetanggaan di Lubu’ Hiju’
Bagi masyarakat Lubu’ Hiju’ semua tetangga
adalah kerabat/keluarga. Hidup gotong royong dan berbagi satu sama lain
merupakan ciri utama dari masyarakat ini. Hal ini bisa kita lihat ketika mereka
membangun rumah, bajolu[12],
bahuma (berladang), atau pun ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan
adat seperti pernikahan, kematian, ayah/namayah[13],
menyaki[14]
laman dan atau hutan dan sebagainya. Namun pada tingkatan tertentu masyarakat
Lubu’ Hiju’ ini sangat menjaga harga dirinya yang pada hakekatnya juga
menggambarkan persaingan[15].
Orang Lubu’ Hiju’ ini tidak mau dianggap tidak kuat, hanya karena tidak bisa
mendapatkan hasil buruan yang banyak. Disinilah uniknya, seberapapun hasil
buruan yang didapat seluruh kampung akan ikut menikmatinya juga. Bagi saya ini
merupakan nilai positif yang harus tetap dilestarikan apalagi ketika menghadapi
perubahan zaman yang seringkali mengorbankan masyarakat adat seperti yang ada
di Lubu’ Hiju’ ini[16].
Artinya apa pun yang terjadi di luar sana, tidak boleh merusak nilai-nilai
positif yang ada di sini seperti aspek berbagi ini.
Masyarakat Dayak Hulu Sungai Mentobi pada
umumnya memiliki rasa sungkan yang relatif tinggi. Perasaan sungkan
seperti ini mendorong mereka untuk lebih tertutup[17]
terhadap orang lain. Aturan-aturan adat yang ada cukup mengikat mereka satu
sama lain dalam melakukan interaksi sosial. Bagaimana harus berbicara terhadap
orang yang lebih tua statusnya dalam kekerabatan, terhadap mertua, terhadap sebaya, terhadap anak kecil, semuanya tanpa disadari
telah memaksa mereka menjadi sungkan[18].
Sebagai contoh, mereka tabu menyebut nama mertua sendiri atau nama orang tua,
kalau mereka melakukan itu akan kena tulah.
Paradoks dengan hal itu, saling
kunjung-mengunjungi merupakan pemandangan yang tidak asing bagi masyarakat ini.
Sekedar mengobrol sambil minum tuak dan makan sirih-pinang merupakan hal yang
biasa. Pada saat-saat mereka tidak melakukan aktivitas ke hutan atau ke huma
(ladang), saat-saat inilah yang dipergunakan untuk melakukan kontak sosial
diantara mereka. Atau pada musim bahuma (berladang) kunjung mengunjungi
ini tetap dilakukan tidak hanya ke rumah yang ada di laman saja, tetapi sampai
ke huma[19]. Biasanya ini dilakukan kalau ada keperluan
tertentu misalnya ingin meminta bahan-bahan untuk kebutuhan makan sehari-hari
atau pun pada saat sedang berburu ke hutan dan mampir sekedar untuk
beristirahat.
Ketika ada keluarga yang sedang melakukan
hajatan, misalnya pesta kawin, membuka
huma baru sampai mahanyi (menuai padi) bahkan pada saat kematian, kerja
sama dalam masyarakat ini akan terlihat dengan jelas. Biasanya, keluarga yang
mengadakan hajatan bertandang ke rumah-rumah untuk memberitahukan rencana
mengadakan pesta tersebut sekaligus mengundang semua penduduk untuk datang.
Tanpa harus meminta bantuan tenaga untuk mempersiapkan pesta, dengan sendirinya
masyarakat yang diberitahu dan diundang hadir tersebut akan berdatangan untuk
membantu. Semua akan membantu sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Ada
yang membantu bagian dapur, ada yang membantu mencari keperluan ke hutan, ada
yang mempersiapkan dekorasi ruangan dan sebagainya. Dan sudah menjadi
kebiasaan, tuan rumah wajib menyiapkan makanan selama bekerja bagi orang-orang
yang membantu.
Hal lain yang bisa kita lihat adalah
kebiasaan bajolu dan mencari hasil hutan non kayu. Pada saat ingin melakukan bajolu, baik
berburu binatang di hutan maupun mencari ikan di sungai, hampir tidak pernah
dilakukan sendiri-sendiri, minimal 2 orang. Kegiatan ini biasanya diketahui
oleh semua orang. Dan mereka yang ingin
ikut bisa ‘mendaftarkan’ diri dalam rombongan berburu. Hasil yang didapat akan dibagi ke seluruh
laman. Demikian juga pada saat mencari ikan.
Mencari ikan agak berbeda sedikit caranya
dari berburu. Kalau mencari ikan biasanya melibatkan semua penduduk dan dimulai
dengan bahaum (bermusyawarah)[20]. Sebelum melaksanakan acara mencari ikan,
desa-desa yang ada di bagian hilir akan diberitahu supaya jangan mandi di
sungai pada saat itu mengingat bahan yang digunakan adalah tuba (sejenis
pohon yang getahnya mengandung racun). Sebelum melaksanakan acara mencari ikan
ini, selalu ada upacara khusus[21]. Dan juga ada pantangan yang harus diindahkan
oleh masyarakat setempat.
Uraian di atas merupakan sedikit contoh
yang ingin menunjukan bagaimana masyarakat Lubu’ Hiju’ hidup bertetangga. Namun
demikian pada kenyataannya, komuniti ini tidak solit. Masyarakat begitu cepat
untuk diprovokasi dan dipecah belah. Saya melihat hal ini ada kaitannya dengan
pola rumah individu/keluarga. Secara
alamiah masyarakat sudah terbiasa bekeja sendiri, mereka tidak terbiasa untuk
hidup bersama seperti tradisi rumah betang. Bahkan keinginan untuk bersaing itu mungkin
hadir dari sini. Setiap individu secara tidak langsung sudah diajarkan untuk
melihat bahwa orang lain yang ada diluar dirinya itu bukan bagian dari dirinya
atau bukan bagian dari rumahnya.
Masalah tidak begitu tampak selama
masyarakat ini belum terpengaruh oleh sesuatu yang datang dari luar komuniti
mereka. Tetapi bibit-bibitnya sudah ada secara alamiah, yang menunggu disiram
dan tumbuh. Disinilah keterlibatan kita sebagai orang luar, untuk tidak
memanfaatkan kondisi ini sebagai lahan yang penuh dengan keuntungan pribadi.
Sebaliknya kita wajib mananamkan kembali nilai-nilai positif yang ada dalam
rangka menghadapi perubahan di luar yang tidak mungkin bisa dihindari[22].
Penutup
Dari sedikit gambaran ketetanggaan di atas
dapat kita lihat bahwa masyarakat desa Lubu’ Hiju’ memiliki pola sendiri dalam melakukan
hubungannya dengan orang lain. Hal ini
mungkin tidak sama dengan masyarakat lain di tempat yang lain, lebih-lebih
kalau kita bandingkan dengan masyarakat kota dan perkotaan. Walaupun dalam beberapa
hal kita temui persamaan, tetap ada perbedaan yang merupakan kekhasan
masyarakat tersebut. Yang paling penting adalah prinsipnya, bukan pada apa yang
tampak. Sebagai contoh dalam hal ini kalau kita lihat aspek teritorialiti.
Aspek ini sangat berbeda kalau kita merujuk pada fenomena masyarakat kota.
Teritorialiti masyarakat Lubu’ Hiju’ merupakan bagian dari upaya mereka bersatu
dengan alam sebagai satu bio region.
Keputusan untuk bertetangga dalam hal ini
tidak bisa kita katakan sebagai upaya memuaskan rasa dari masing-masing
individu/keluarga. Sehingga tidak akan kita temui ada anggota masyarakat yang
memutuskan untuk keluar dari komunitinya karena kebutuhan tidak terpenuhi.
Disini kepentingan ekonomi (upaya menguntungkan diri sendiri) diabaikan. Inilah
catatan yang cukup penting dari tulisan ini. Artinya, aspek yang paling
menonjol dalam bertetangga adalah kebersamaan. Kalaupun ada bibit-bibit
perpecahan di dalamnya bisa dieliminir dengan mengedepankan nilai kebersamaan
ini.
Daftar
Bacaan
Hadiwijono,
Harun, Dr., “Religi Suku Murba di Indonesia”, PT.BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2000
Kartika,
Sandra dan Gautama, Candra, “Prosiding; Menggugat Posisi Masyarakat Adat
Terhadap Negara”, AMAN, Jakarta, 1999
Masinambow,
E.K.M. (ed.), “Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia”, Asosiasi
Antropologi Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997
Riwut,
Tjilik, “Kalimantan Membangun”,
PT.Jayakarta Agung Offset, Jakarta, 1979
Sabdey,
Aprimeno, ST., “Studi Pengelolaan Lahan Secara Tradisional di Desa Lubu’
Hiju’ Kalimantan Tengah”, Skripsi-Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITI,
Serpong, 2000
[1]
Penulis adalah peneliti pada Laboratorium Pengembangan Komunitas (LAPAK)
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
ITI dan sedang mengikuti program
pascasarjana Antropologi UI.
[2]
Dr.Boedhi Hartono seringkali mengemukakan hal ini dalam kelas Perilaku
Pemukiman pada program pascasarjana Antropologi UI.
[3]
Jadi kesulitan semata-mata bukan karena
bentuk masyarakatnya yang homogen atau asali, tetapi lebih pada hal-hal yang
bersifat teknis (‘kemudahan kepustakaan’)
[4]
Sampai pada tahun 70-an desa yang paling
hulu adalah desa Topalan yang dipindahkan ke bagian hilir sungai oleh
pemerintah daerah dengan alasan sulit untuk dijangkau.
[5]
Banyak nilai-nilai budaya yang menjadi
bias maknanya ketika mereka dimasuki cara berpikir yang uang oriented dan
jelas-jelas difasilitasi oleh perusahaan HPH Trisetia Intiga yang ada di sana.
Sebagai informasi awal, dapat kita periksa pada skripsi sarjana Aprimeno Sabdey
dengan judul “Studi Pengelolaan Lahan Secara Tradisional di Desa Lubu’ Hiju’
Kalimantan Tengah” (Sabdey, 2000)
[6]
Terbukanya aksesibilitas ke Lubu’ Hiju’ memberikan keuntungan dan
kerugiannya sendiri bagi kelangsungan masyarakat dan ekosistem hutan yang ada
di sana. Yang jelas, sepanjang jalan menuju ke desa ini, sejauh mata memandang
kita hanya menemui hamparan bebukitan yang sudah gundul dan siap disulap
menjadi padang Kelapa Sawit dan Akasia (dan sejenisnya untuk bahan baku
kertas).
[7]
Sebutan Dayak Hulu Sungai Mentobi
merupakan penamaan yang penulis berikan bagi masyarakat yang tinggal di
sepanjang aliran sungai Mentobi. Hal ini merupakan kesimpulan penulis mengingat
kebiasaan yang ada pada masyarakat dayak yang mendiami daerah aliran sungai
(DAS) Lamandau ketika menunjuk saudara-saudara mereka yang datang dari sub DAS
Lamandau lainnya (seperti DAS Mentobi, Das Belantikan, DAS Buli’, dan lainnya)
dengan sebutan urang hulu (sungai/arai)
X (X dimaksud menyebut nama sungai dari mana orang itu berasal).
Sedangkan Tjilik Riwut dalam “Kalimantan Membangun” menyebut atau menggolongkan
orang dayak di DAS Lamandau ini dalam kelompok Dayak Ngaju’; dan saya sendiri
kurang setuju dengan pengelompokan ini mengingat bahasa dan karakter
masing-masing masyarakat sangat berbeda.
[8]
Keramahan ini pada tingkat tertentu
sudah mulai luntur. Rasa curiga terhadap ‘orang baru’ sudah mulai mewarnai
masyarakat Lubu’ Hiju’. Tetapi selanjutnya rasa curiga itu akan hilang dengan
sendirinya setelah ‘orang baru’ tersebut menunjukkan itikad baik dan bisa
bersahabat dengan mereka. Kondisi ini bukan nature masyarakat. Saya
mensinyalir perubahan ini mulai ada sejak uang menggantikan segala kebutuhan
masyarakat.
[9]
Sejauh ini saya tidak menemukan adanya
indikasi bahwa masyarakat dayak yang berdiam di DAS Lamandau awalnya memiliki
tradisi rumah betang.
[10]
Konsep rumah panggung ini dilatar
belakangi masa perang antar suku; jadi fungsinya untuk menghindari serangan
musuh atau atau agar musuh tidak dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah
tersebut.
[11] Kayau adalah sebutan orang yang menjalankan
tradisi mencari kepala manusia.
[12]
Bajolu merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut kegiatan berburu dan
mencari ikan; penggunaan istilah ini diartikan sesuai dengan konteksnya
[13]
Orang Dayak yang tinggal di daerah aliran sungai Lamandau percaya bahwa manusia itu setelah mati akan pergi ke
Sabayan Tujuh [sabayan adalah tempat samongat (arwah/roh) orang yang
sudah mati . Sabayan ini ada dua jenis, yaitu sabayan tujuh dan sabayan
sunsang. Sabayan Tujuh adalah surga yang letaknya di atas sedangkan sabayan
sunsang adalah neraka yang letaknya di bawah] dan sebelum mereka pergi ke sana
samongat mereka terlebih dahulu maawang (bergentayangan atau
mengawang-awang) di dunia manusia ini. Samongat ini tidak bisa pindah dengan
sendirinya, dia harus diantar dengan suatu upacara yang di sebut ayah atau
namayah atau tewah oleh seorang imam yang khusus (biasanya yang menjadi imam
adalah Mantir Adat –istilah sekarang adalah kepala adat- setempat) selama waktu
tertentu dan tidak boleh salah ketika membacakan doa-doa yang dipercaya sebagai
penuntun samongat ke tempat tujuan. Acara ini secara garis besar sama dengan
yang terdapat pada suku dayak Ngaju’. Untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan
acara tersebut periksa tulisan Dr.Harun Hadiwijono mengenai “Religi Suku Murba
di Indonesia”.
[14]
Manyaki sering disebut juga mangabia dapat diartikan dengan memberi makan,
tetapi istilah ini tidak dikenakan kepada manusia. Misalnya manyaki laman
(desa) berarti memberi makan laman; maksudnya supaya para makhluk
penunggu/penjaga laman tetap mau melindungi laman mereka.
[15]
Tetapi persaingan yang dimaksudkan disini
tidak bertendensi ekonomi atau kekuasaan politik. Persaingan ini
semata-mata ingin menunjukan bahwa seseorang dianggap cakap dalam melakukan
sesuatu. Contohnya adalah ketika seseorang berburu, Si A akan merasa malu kalau
perolehan berburunya tidak bisa menyaingi rekor berburu Si B pada waktu yang
lalu.
[16] Kalau kita membaca berita-berita di koran
atau pun kita buka kembali Prosiding Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara di
Hotel Indonesia 15-16 maret 1999 yang lalu, kita menemukan bahwa
korban/kerugian yang akan ditanggung tidak hanya pada pembodohan, keterbelakangan dan sebagainya,
tapi juga korban nyawa.
[17]
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Mering Ngo ketika
menggambarkan temperamen orang dayak yang tinggal di sekitar Taman Nasional
Bukit Baka-Bukit Raya; dalam catatan kaki dia mencoba menggeneralisasi keadaan
ini melingkupi orang dayak secara umum. Periksa Mering Ngo dalam “Koentjaraningrat
dan Antropologi di Indonesia” hal 109.
[18]
Pengertian memaksa disini tidak berarti mereka tidak menikmati aturan adat
tersebut. Semua itu mereka lakukan dengan rela.
[19]
Setiap musim bahuma penduduk biasanya tinggal di huma itu sesuai kebutuhannya.
[20] Bahaum disini dimaksudkan untuk membentuk
semacam panitia, siapa yang mencari dan menyiapkan tuba, siapa yang bagian
mengumpulkan ikan dan sebagainya termasuk siapa yangmenjadi kepala tuba-nya
(semacam ketua panitia)
[21]
Upacara ini maksudnya supaya tuba yang digunakan bisa dikendalikan masa
berlakunya, ikan tidak terkontaminasi dan tidak mati, tapi hanya mabuk saja.
Dan juga ada pantangan yang harus diindahkan oleh masyarakat setempat. Wanita
hamil tidak diperbolehkan ikut atau mandi. Karena dipercaya akan menghilangkan
khasiat tuba. Dalam hal ini pernah dibuktikan, ketika masyarakat sedang mencari
ikan ada wanita hamil yang mandi, seketika ikan-ikan yang sedang mabuk itu
kembali segar dan berenang kembali.
[22]
Dalam hal ini saya tidak menganjurkan supaya masyarakat kembali pada tradisi
lamanya, tetapi menyerap nilai-nilai positif yang ada pada konteks yang
relevan. Misalnya untuk bekerjasama dan berbagi tidak harus dimulai dengan
ritus-ritus tertentu, yang pelaksanaannya mungkin sudah dilupakan dan dalam
sudut pandang tertentu tidak manusiawi (mis. tradisi mengayau).
makasih sudah mempublikasikan tulisan saya ....
BalasHapusSama-sama hia. Kebetulan aku dapat tulisan duan dr om Renolt. Karena bermanfaat untuk urang banyak aku posting disini. Maaf bolum baijin dengan duan holu.
HapusMau tanya dong. Terkait buku yg membahas ttg asosiasi ketetanggaan apakah penulis tau?mohon infonya
BalasHapus